Gagal panen, Faktor alam VS Acuhnya Penguasa
Kembali sebagaimana musim padi kedua pada tahun lalu, sebagian besar lahan pertanian di Kabuaten Ponorogo yang semi tadah hujan mengalami gagal panen. Sehingga, dengan demikian, petani hanya bisa menikmati satu kali panen padi setiap tahun. Ini sebetulnya sudah menjadi resiko yang dihadapi petani sejak dahulu. Jika musim penghujan lebih awet maka petani padi bisa 2 kali panen dalam satu tahun.
Apakah fenomena ini hanya akan menjadi wacana public yang selalu mengembalikannya kepada alam tanpa ada “gembreget” untuk mencari solusi demi meningkatkan taraf hidup terutama bagi petani yang memiliki lahan pertanian pas-pasan ?
Di Desa jenangan dan Desa Jimbe bagian selatan misalnya, hari ini sudah ribuan hektar padi yang sudah mongering lantaran kekurangan air. Supply air dari daerah pegunungan timur Ponorogo sudah tidak lagi cukup untuk dibagi-bagi bersama. Itupun terlalu lama datangnya karena bergiliran dengan blok-blok di desa lain yang juga memiliki nasib yang sama.
Tentu public masih teringat dengan proyek pembangunan Bendungan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo di tengah hutan Kayu Putih di desa ngalayang Kecamatan Jenangan zaman Bupati Markom Singodimejo. Proyek yang menghabiskan dana lebih kurang 2 Milyar itu sebetulnya salah satu ikhtiar dari pemerintah untuk memberikan “solusi” bagi masalah yang sudah disebutkan di awal tadi. Namun entah apa penyebabnya, rasanya solusi tersebut tidak memberikan apapun kepada Petani kecuali nol besar. Mungkin ini terjadi karena bendungan tidak dibangun sebagaimana rencana semula. Bahkan pada waktu itu sudah gencar adanya issue bahwa hanya sekian persen saja dana tersebut yang benar-benar dialokasikan untuk pembangunan Bendungan, pantas saja hasilnya hanya seperti Dam kecil yang hanya menampung sedikit sekali air sungai. Publik pun dibuat bertanya-tanya pada waktu itu, bagaimana bisa 2M hanya seperti ini hasilnya.
Sekarang Dam kecil itu menjadi saksi bisu "kejamnya" pemerintah kepada Petani yang selalu bermimpi dengan limpahan air di segala musim, ternyata hanya dimanfaatkan untuk mencairkan dana segar yang dialokasikan bukan untuk yang direncakan, setidaknya inilah opini yang berkembang di publik.
Dan perlu diketahui bahwa, dibangunnya bendungan mini tersebut juga karena adanya jeritan dan rintihan rakyat petani yang berteriak-teriak serta memohon-mohon pertolongan kepada Penguasa, lain halnya jika petani tidak memohon-mohon. Dan bisa saja jika petani diam saja meratapi nasib, Penguasa tidak akan peduli dengan nasib mereka. Buktinya sampai hari ini kekeringan yang menelan kerugian materi sangat tinggi masih saja terjadi di beberapa blok lahan pertanian.
Mungkin bisa saja mereka mengatakan, lalu apa yang bisa diperbuat kalau memang air tidak ada, hujan juga tidak turun, bukankah ini adalah di bawah kehendak Tuhan. Tentu saja ini masuk akal, namun rasanya kurang enak di dengar jika hanya sekitar 1,5KM di sebelah utara lahan yang kekeringan, air begitu melimpah, bahkan tidak jauh di daerah selatan petani bisa mengairi sawah dari sumur dalam.
Lalu kenapa tidak dibuat sumur dalam. Tentu saja ini adalah salah satu jawabannya, namun biaya pembuatan sumur dalam jangan dianggap murah. Di daerah ini, Desa Jenangan Kecamatan Jenangan, sumur dalam bisa mencapai 70meter, dan rata-rata membutuhkan biaya sekitar 50 juta rupiah. Harga yang berat bagi rakyat petani. Namun jika penguasa peduli akan nasib petani, pasti bisa menerka ini. 50 juta bagi penguasa tentu bukan harga yang terlalu mahal.
Namun rasanya, jika tidak ada jeritan seolah-olah memang tidak ada jawaban. Lalu apakah memang seharusnya demikian ? Kalau menurut saya tentu saja tidak. Penguasa seharusnya sangat peka terhadap nasib rakyatnya, dan selau berfikir solutif demi memberikan kemakmuran kepada rakyat yang pada saat kampanye di rayu-rayu agar memilih mereka untuk duduk sebagai penguasa.
Secara teknologi, mungkin bisa saja air yang melimpah di beberapa tempat di ratakan sedemikian rupa sehingga tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok antara blok lahan pertanian di satu tempat dengan blok lain. Saya kira jika di garap dengan serius ini akan memberikan dampak luar biasa bagi rakyat Petani.
Atau pengadaan sumur dalam di beberapa titik rawan kekeringan, juga salah satu solusi lain yang bisa di berikan penguasa kepada rakyat. Bukankah tidak boleh jika Penguasa menutup mata akan nasib buruk yang menimpa rakyatnya, apalagi kita semua tahu bahwa Penguasa digaji dari uang rakyat, maka tentu saja perhatian mereka kepada rakyat sangat dibutuhkan.
Semoga saja ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama, untuk tidak terlalu latah menyerah pada alam, tidak selalu menyalahkan musim jika terjadi malapetaka. Bukankah Allah hanya merubah nasib manusia yang berusaha merubah nasibnya sendiri?, bukan manusia yang berpangku tangan menyerah kepada keadaan.
Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan sebuah kesimpulan singkat
“Terlepas dari perspektif yang lain, selalu ada solusi dari setiap masalah, maka dari itu kita tidak boleh menyerah”
[ Kolom by : M. Agus Ismail, blogger senior | pemudamu.com ]
Apakah fenomena ini hanya akan menjadi wacana public yang selalu mengembalikannya kepada alam tanpa ada “gembreget” untuk mencari solusi demi meningkatkan taraf hidup terutama bagi petani yang memiliki lahan pertanian pas-pasan ?
Di Desa jenangan dan Desa Jimbe bagian selatan misalnya, hari ini sudah ribuan hektar padi yang sudah mongering lantaran kekurangan air. Supply air dari daerah pegunungan timur Ponorogo sudah tidak lagi cukup untuk dibagi-bagi bersama. Itupun terlalu lama datangnya karena bergiliran dengan blok-blok di desa lain yang juga memiliki nasib yang sama.
Tentu public masih teringat dengan proyek pembangunan Bendungan oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo di tengah hutan Kayu Putih di desa ngalayang Kecamatan Jenangan zaman Bupati Markom Singodimejo. Proyek yang menghabiskan dana lebih kurang 2 Milyar itu sebetulnya salah satu ikhtiar dari pemerintah untuk memberikan “solusi” bagi masalah yang sudah disebutkan di awal tadi. Namun entah apa penyebabnya, rasanya solusi tersebut tidak memberikan apapun kepada Petani kecuali nol besar. Mungkin ini terjadi karena bendungan tidak dibangun sebagaimana rencana semula. Bahkan pada waktu itu sudah gencar adanya issue bahwa hanya sekian persen saja dana tersebut yang benar-benar dialokasikan untuk pembangunan Bendungan, pantas saja hasilnya hanya seperti Dam kecil yang hanya menampung sedikit sekali air sungai. Publik pun dibuat bertanya-tanya pada waktu itu, bagaimana bisa 2M hanya seperti ini hasilnya.
Sekarang Dam kecil itu menjadi saksi bisu "kejamnya" pemerintah kepada Petani yang selalu bermimpi dengan limpahan air di segala musim, ternyata hanya dimanfaatkan untuk mencairkan dana segar yang dialokasikan bukan untuk yang direncakan, setidaknya inilah opini yang berkembang di publik.
Dan perlu diketahui bahwa, dibangunnya bendungan mini tersebut juga karena adanya jeritan dan rintihan rakyat petani yang berteriak-teriak serta memohon-mohon pertolongan kepada Penguasa, lain halnya jika petani tidak memohon-mohon. Dan bisa saja jika petani diam saja meratapi nasib, Penguasa tidak akan peduli dengan nasib mereka. Buktinya sampai hari ini kekeringan yang menelan kerugian materi sangat tinggi masih saja terjadi di beberapa blok lahan pertanian.
Mungkin bisa saja mereka mengatakan, lalu apa yang bisa diperbuat kalau memang air tidak ada, hujan juga tidak turun, bukankah ini adalah di bawah kehendak Tuhan. Tentu saja ini masuk akal, namun rasanya kurang enak di dengar jika hanya sekitar 1,5KM di sebelah utara lahan yang kekeringan, air begitu melimpah, bahkan tidak jauh di daerah selatan petani bisa mengairi sawah dari sumur dalam.
Lalu kenapa tidak dibuat sumur dalam. Tentu saja ini adalah salah satu jawabannya, namun biaya pembuatan sumur dalam jangan dianggap murah. Di daerah ini, Desa Jenangan Kecamatan Jenangan, sumur dalam bisa mencapai 70meter, dan rata-rata membutuhkan biaya sekitar 50 juta rupiah. Harga yang berat bagi rakyat petani. Namun jika penguasa peduli akan nasib petani, pasti bisa menerka ini. 50 juta bagi penguasa tentu bukan harga yang terlalu mahal.
Namun rasanya, jika tidak ada jeritan seolah-olah memang tidak ada jawaban. Lalu apakah memang seharusnya demikian ? Kalau menurut saya tentu saja tidak. Penguasa seharusnya sangat peka terhadap nasib rakyatnya, dan selau berfikir solutif demi memberikan kemakmuran kepada rakyat yang pada saat kampanye di rayu-rayu agar memilih mereka untuk duduk sebagai penguasa.
Secara teknologi, mungkin bisa saja air yang melimpah di beberapa tempat di ratakan sedemikian rupa sehingga tidak ada kesenjangan yang terlalu mencolok antara blok lahan pertanian di satu tempat dengan blok lain. Saya kira jika di garap dengan serius ini akan memberikan dampak luar biasa bagi rakyat Petani.
Atau pengadaan sumur dalam di beberapa titik rawan kekeringan, juga salah satu solusi lain yang bisa di berikan penguasa kepada rakyat. Bukankah tidak boleh jika Penguasa menutup mata akan nasib buruk yang menimpa rakyatnya, apalagi kita semua tahu bahwa Penguasa digaji dari uang rakyat, maka tentu saja perhatian mereka kepada rakyat sangat dibutuhkan.
Semoga saja ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama, untuk tidak terlalu latah menyerah pada alam, tidak selalu menyalahkan musim jika terjadi malapetaka. Bukankah Allah hanya merubah nasib manusia yang berusaha merubah nasibnya sendiri?, bukan manusia yang berpangku tangan menyerah kepada keadaan.
Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan sebuah kesimpulan singkat
“Terlepas dari perspektif yang lain, selalu ada solusi dari setiap masalah, maka dari itu kita tidak boleh menyerah”
[ Kolom by : M. Agus Ismail, blogger senior | pemudamu.com ]
Gagal panen, Faktor alam VS Acuhnya Penguasa
Reviewed by pdpm
on
Juni 11, 2019
Rating:
Tidak ada komentar