Sejarah Penemu Kota Baru Ponorogo
Bupati Mertohadinegoro sang penemu Kota Baru Ponorogo dikenal dengan Founing Father Kota Baru yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Ponorogo. Raden Baroto atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Mertohadinegoro adalah Bupati Ponorogo pertama kota tengah (Sekarang) setelah pepindahan kota lama menuju kota sekarang ini. Raden Mertohadinegoro merupakan anak ke 11 dari 25 bersaudara dari seorang ayah yang bernama Raden Jayengrono II seorang Bupati Pedanten yang berasal dari Ponorogo bagian selatan. Bupati Raden Jeyengrono II pernah dipindah tugaskan menjadi Bupati Caruban pada tahun 1785.
Perpindahan tersebut, juga diikuti oleh sebagian para keluarga, salah satunya adalah Raden Baroto muda. Raden Baroto pada masa muda belajar mengelola pemerintahan langsung kepada ayahnya Raden Jayengrono II, Setelah ayahnya wafat pada tahun 1805 Raden Baroto mengantikan kedudukan ayahnya sebagai bupati Caruban. Raden Baroto menikah dengan putri Raden Surodiningrat II seorang Bupati Ponorogo Kutha Timur atau sekarang terkenal dengan sebutan kota lama sekarang ini, yang tak lain adalah keturunan Raden Batoro Katong.
Pada tahun 1837 masa-masa kelabu bagi pemerintahan Ponorogo, hal ini disebabkan karena banyak kehilangan tokoh-tokoh daerah dikarenakan meninggal dunia diantaranya Raden Surodiningrat II bupati Kutho Timur (Sekarang: Pasar Pon) atau tepatnya mertua Raden Mertohadinegoro, tidak berselang lama disusul oleh Raden Tumenggung Bupati Wedana Mernung pun demikian. Sebagai langkah untuk mengisi kekosongan pemerintahan, Pemerintah Belanda kemudian menarik Raden Baroto dari Bupati Caruban untuk menjadi Bupati Ponorogo, hal ini dikarenakan Raden Baroto masih memiliki Trah Katongan dan Jayengranan, yang keduanya dahulu merupakan orang-orang yang berjasa ketika babad Ponorogo.
Raden Baroto di Ponorogo lebih dikenal oleh masyarakat Ponorogo dengan Sebutan Raden Mertohadinegoro, ketika mendapat amanah menjadi Bupati Ponorogo. Raden Mertohadinegoro memindahkan pusat pemerintahan dari kutho timur menuju sekarang ini, Pepindahan tersebut pada tahun 1837 atau dengan sinegkalan “Wiku Tri anggesti Tunggal” Sebagai seorang bupati baru dilokasi baru, maka ia membangun berbagai fasilitas tata pemerintahan.
Pusat pemerintahan yang dipilih adalah kelurahan Mangkujayan, dipilihnya kelurahan Mangkujayan bukan berarti tidak ada alasan. Alasan utamanya adalah faktor strategis yang mana sebagai jalur perdangan antar wilayah yang meliputi sebelah selatan Kadipaten Pacitan, sebelah Barat Kabupaten Wonogiri, Sebelah utara, Kadipaten Madiun dan Magetan dan sebelah timur Kadipaten Trenggalek. Untuk memudahkan akses tersebut maka Raden Mertohadinegoro membuat jalan lingkar kota yaitu Jl. Diponegoro, Jl Urip Sumoharjo (dulu Sriwijaya). Jl Ahmad Dahlan (dulu Hayam Wuruk), Jl. Sultan Agung. JL.Jend Basuki Rahmad, JL.A.Yani. Jl. Gatot Subroto dan Alun-alun.
Raden Mertohadinegoro juga membuat kebijakan penghijauan jalan dengan menanami Pohon Asem di sepanjang pinggir Jalan sehingga jalan menjadi rindang, dan pada setiap perempatan jalan terdapat gardu pengamanan atau yang disebut dengan gerdon, gerdon ini selain sebagai tempat memantau keamana wilayah juga berfungsi sebagai tempat istirahat bagi siapapun yang melakukan perjalanan.
Selain itu, untuk membangun perekonomian masyarakat, beliau juga membangun pasar ditempat tempat strategis seperti pasar Tambakbayan, pasar Tajug, dan Pasar Alun-Alun. Kebijakan ini, sangat penting karena salah satu roda ekonomi yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarkat pada waktu itu terletak pada aspek perdagangan.
Adapun fasilitas lain antara lain Masjid Agung Kauman pada tahun 1843, Komplek rumah dinas bupati, pringgitan (sekarang diganti bangunan baru), Paseban, masjid Suronatan (selatan sasana praja) Kantor asisten residen (Sekarang SMP 1 Ponorogo, Rumah Jaksa (Sekarang digunakan Bank BNI 46), Rumah Tahanan Negara yang lokasinya berada didepan Bank BNI 46 sekarang ini serta pembangun rumah sakit yang lokasinya di Jalan Batoro Katong tepatnya kantor Pembatik, namun tidak berselang lama di pindahkan ke dusun Jarakan Banyudono.
Raden Mertohadinegoro menjabat bupati Ponorogo selama 17 tahun yaitu mulai tahun 1837 sampai dengan 1854 karena pada tahun itu pula Bupati yang terkenal dengan Founding father kota baru ini meninggal pada hari selasa Pon tanggal 10 Agustus 1854 dan disemayamkan di Pemakaman desa Tajug Siman. Berkat Jasa dan Pengorbanan selama menjadi Bupati maka desa Tajug dijadikan desa Perdikan, atau desa yang terbebas dari segala pajak Pemerintah dan status tersebut dihapus oleh pemerintah pada tahun 1964.
Perpindahan tersebut, juga diikuti oleh sebagian para keluarga, salah satunya adalah Raden Baroto muda. Raden Baroto pada masa muda belajar mengelola pemerintahan langsung kepada ayahnya Raden Jayengrono II, Setelah ayahnya wafat pada tahun 1805 Raden Baroto mengantikan kedudukan ayahnya sebagai bupati Caruban. Raden Baroto menikah dengan putri Raden Surodiningrat II seorang Bupati Ponorogo Kutha Timur atau sekarang terkenal dengan sebutan kota lama sekarang ini, yang tak lain adalah keturunan Raden Batoro Katong.
Pada tahun 1837 masa-masa kelabu bagi pemerintahan Ponorogo, hal ini disebabkan karena banyak kehilangan tokoh-tokoh daerah dikarenakan meninggal dunia diantaranya Raden Surodiningrat II bupati Kutho Timur (Sekarang: Pasar Pon) atau tepatnya mertua Raden Mertohadinegoro, tidak berselang lama disusul oleh Raden Tumenggung Bupati Wedana Mernung pun demikian. Sebagai langkah untuk mengisi kekosongan pemerintahan, Pemerintah Belanda kemudian menarik Raden Baroto dari Bupati Caruban untuk menjadi Bupati Ponorogo, hal ini dikarenakan Raden Baroto masih memiliki Trah Katongan dan Jayengranan, yang keduanya dahulu merupakan orang-orang yang berjasa ketika babad Ponorogo.
Raden Baroto di Ponorogo lebih dikenal oleh masyarakat Ponorogo dengan Sebutan Raden Mertohadinegoro, ketika mendapat amanah menjadi Bupati Ponorogo. Raden Mertohadinegoro memindahkan pusat pemerintahan dari kutho timur menuju sekarang ini, Pepindahan tersebut pada tahun 1837 atau dengan sinegkalan “Wiku Tri anggesti Tunggal” Sebagai seorang bupati baru dilokasi baru, maka ia membangun berbagai fasilitas tata pemerintahan.
Pusat pemerintahan yang dipilih adalah kelurahan Mangkujayan, dipilihnya kelurahan Mangkujayan bukan berarti tidak ada alasan. Alasan utamanya adalah faktor strategis yang mana sebagai jalur perdangan antar wilayah yang meliputi sebelah selatan Kadipaten Pacitan, sebelah Barat Kabupaten Wonogiri, Sebelah utara, Kadipaten Madiun dan Magetan dan sebelah timur Kadipaten Trenggalek. Untuk memudahkan akses tersebut maka Raden Mertohadinegoro membuat jalan lingkar kota yaitu Jl. Diponegoro, Jl Urip Sumoharjo (dulu Sriwijaya). Jl Ahmad Dahlan (dulu Hayam Wuruk), Jl. Sultan Agung. JL.Jend Basuki Rahmad, JL.A.Yani. Jl. Gatot Subroto dan Alun-alun.
Raden Mertohadinegoro juga membuat kebijakan penghijauan jalan dengan menanami Pohon Asem di sepanjang pinggir Jalan sehingga jalan menjadi rindang, dan pada setiap perempatan jalan terdapat gardu pengamanan atau yang disebut dengan gerdon, gerdon ini selain sebagai tempat memantau keamana wilayah juga berfungsi sebagai tempat istirahat bagi siapapun yang melakukan perjalanan.
Selain itu, untuk membangun perekonomian masyarakat, beliau juga membangun pasar ditempat tempat strategis seperti pasar Tambakbayan, pasar Tajug, dan Pasar Alun-Alun. Kebijakan ini, sangat penting karena salah satu roda ekonomi yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarkat pada waktu itu terletak pada aspek perdagangan.
Adapun fasilitas lain antara lain Masjid Agung Kauman pada tahun 1843, Komplek rumah dinas bupati, pringgitan (sekarang diganti bangunan baru), Paseban, masjid Suronatan (selatan sasana praja) Kantor asisten residen (Sekarang SMP 1 Ponorogo, Rumah Jaksa (Sekarang digunakan Bank BNI 46), Rumah Tahanan Negara yang lokasinya berada didepan Bank BNI 46 sekarang ini serta pembangun rumah sakit yang lokasinya di Jalan Batoro Katong tepatnya kantor Pembatik, namun tidak berselang lama di pindahkan ke dusun Jarakan Banyudono.
Raden Mertohadinegoro menjabat bupati Ponorogo selama 17 tahun yaitu mulai tahun 1837 sampai dengan 1854 karena pada tahun itu pula Bupati yang terkenal dengan Founding father kota baru ini meninggal pada hari selasa Pon tanggal 10 Agustus 1854 dan disemayamkan di Pemakaman desa Tajug Siman. Berkat Jasa dan Pengorbanan selama menjadi Bupati maka desa Tajug dijadikan desa Perdikan, atau desa yang terbebas dari segala pajak Pemerintah dan status tersebut dihapus oleh pemerintah pada tahun 1964.
Sejarah Penemu Kota Baru Ponorogo
Reviewed by pdpm
on
November 17, 2016
Rating:
Tidak ada komentar