Masalah Penyimpangan Orientasi Sexual Yang Belum Terselesaikan

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Judical Review yang dilakukan oleh kelompok AILA tentang zina dan homoseksual. Isu mengenai dua hal ini makin menarik untuk dikaji. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak JR yang diajukan oleh tim dari AILA tersebut. Kita patut mengapresiasi atas kerja keras tersebut. Karena persidangan tersebut memakan waktu, tenaga, biaya yang tidak sedikit. Sebetulnya isu mengenai homoseksualitas  ini hampir setiap tahun menyeruak ke permukaan, tetapi selalu hilang dari peredaran karena banyaknya isu-isu yang muncul ke permukaan. Begitu seterusnya—timbul tenggelam dan tak pernah selesai.
Masalah Penyimpangan Orientasi Sexual Yang Belum Terselesaikan

Dengan kemunculan kembali isu ini ke permukaan tentu saja menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Di negara kita yang menganut sistem demokrasi memang memungkinkan segala bentuk aliran ataupun paham untuk masuk dalam ruang hidup kita. Bisa jadi yang ada di hadapan kita adalah sesuatu yang sangat baik dan sangat bermanfaat bagi kita. Ataupun bisa sangat jelek, tidak bermanfaat sama sekali—dan banyak orang terjebak dalam lubang ini. Nah, dari sinilah medan perjuangan kita dimulai. menghadapi kelompok homo  ini memang tidak bisa sekali selesai—apalagi dengan metode kekerasan. Kita harus bermain cantik dan mencari celah agar kelompok homo ini tidak sampai berkembang.

Kelompok homo ini juga bermain sangat rapi, mulai dari lobi-lobi, termasuk mempengaruhi elemen yang berwenang. Mereka sendiri secara nyata juga berlindung di bawah payung Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam struktur organsasi mereka ternyata juga banyak diisi oleh cendekiawan liberal yang tentu saja mendukung agenda mereka serta pegiat feminisme. Selain itu support yang sangat besar dalam hal pendanaan dari berbagai  Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat Nasional ataupun Internasional. Salah satu LSM yang sejak  tahun 2003 getol mendukung kegiatan kaum Homo ini adalah Hivos yang merupakan LSM dari Belanda, kemudian disusul oleh Ford Foundation, dan LSM lainnya.

Disebut dengan penyimpangan orientasi seksual karena mereka terterik secara fisik, romantis, dan atau emosi kepada sesama jenis—entah itu kepada sesama laki-laki, sesama perempuan, atau bisa sesama laki-laki dan perempuan sekaligus. Untuk selanjutnya mereka menamkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Untuk lebih mudahnya bisa disebut dengan homoseksual. Masalah penyimpangan orientasi seksual ini memang menjadi masalah yang serius untuk segera menemukan solusinya. Norma di Masyarakat mengutuk semua kegiatan penyimpangan seksual ini, karena tidak sesuai dengan fitrah Manusia. Tapi kemudian hal juga mendapatkan respon yang serius dari kelompok homo tersebut. Mereka menamai kelompok yang anti dengan kelompok homo dengan sebutan homophobia.

Dalam sejarahnya di era modern, aktivitas homoseksual ini bermula dari kegiatan pembebasan di Stonewall Amerika Serikat tahun 1969 (Gay Liberation Movement and Woman Liberation Movement ). Berikutnya beberapa negara terpapar virus yakni Inggris. Di London tahun 1970 berdiri organisasi Gay Liberation Front (GLF). Bersatunya kelompok menyimpang ini disebabkan adanya anggapan bahwa mereka kelompok yang termarjinalkan dari publik. Dengan adanya anggapan diskriminasi tersebut mereka menghimpun segenap kekuatan dari kelompok yang bersepakat dengan mereka. Setelah adanya reformasi tersebut keadaan mereka berubah 180 derajat. Mereka berpikiran, jika mereka hanya bersembunyi (in the closet) mereka tentu tidak bisa untuk coming out untuk menyuarakan hak mereka. Di masa lampau banyak banyak sejarah tentang kelompok homo ini. Misal di zaman Nabi Luth, peristiwa Pompei atau yang lainnya.

Di Indonesia, kampanye untuk sekedar ikut-ikutan dengan negara lain ternyata juga banyak ditemukan. Bahkan kelompok mereka juga menuntut adanya pernikahan sejenis. Banyak di antara pegiat feminisme atau akademisi yang juga meyuarakan hal ini. Berikut adalah salah satu contoh dari para pendukung aktivitas homosek tersebut, Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai suatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami tidak, tidak ada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum bahwa proyeknya menciptkan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus kaum Luth untuk menumpas kaum homo karena menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia(karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan peru mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan itu. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami jalan terus kaum homosek, anda di jalan yang benar.”
Mungkin itu hanya salah satu contoh bahwa masalah homosekual ini bukan masalah yang ringan. Semua orang sudah secara nyata telah mendukung kegiatan mereka. Bahkan upaya membongkar teks keagamaan yang telah mapan sekalipun juga ditempuh oleh akademisi sontolyo yang semacam ini. Ada anggapan bahwa teks keagamaan yang ada sangat di dominasi oleh heteronormativitas sehingga teks suci tersebut harus dibongkar maknanya. Seorang akademisi liberal dengan lantang menyuarakan hal ini,

Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang given atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat kontruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima. ( Majalah Tabligh DTDK PP Muhammadiyah, 2008).
Di sisi lain ternyata juga ada upaya untuk mengakui keberadaan kaum homo ini. Di dalam RUU KKG misalnya juga memiliki celah diakuinya kelompok mereka. Dalam dunia Psikologi, dahulu di dalam buku panduan DSM (Diasnostic and Statistic Manual  of Mental Disorder) homoseksualitas dianggap sebagai suatu penyimpangan yan masuk gangguan jiwa. Setelah mendapatkan kritikan dari APA di tahun 1974 akhirnya terjadi klasifikasi ulang (American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Di beberapa tempat juga telah terjadi pernikahan sesama jenis baik itu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan. Rata-rata yang melakukan hal yang demikian ini memalsukan identitas, ada juga yang kemudian melakukan pernikahan sejenis di luar negeri.

Homosek saat ini hampir menjadi pandemi global yang menjangkiti hampir semua negara maju misal di negara Norwegia (1993), Belanda (1996), Belgia (2003), Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Swedia, Brazil, dan beberapa negara lain. Negara adi kuasa Amerika Serikat pada tahun 2015 juga telah mengesahkan adanya perkawinan sejenis. Negara tersebut menjadi negara ke-23 yang melegalkan pernikahan homo tersebut. Latar belakang dari beberapa negara yang melegalkan perkawinan sejenis tersebut sebetulnya sangat beragam. Negara Brazil yang tingkat relijiusitasnya tinggi sekalipun akhirnya menggoalkan perkawinan sejenis. Kehidupan di dunia barat yang liberal-sekuler memungkinkan hal apa saja bisa berubah dengan cepat.

Dalam hal ini Al-Attas memandang bahwa problem terberat yang dihadapi oleh manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi  keilmuan sekuler barat yang mengarah kepada kehancuran umat manusia. Menurutnya, bagi barat kebenaran fundamental dari agama hanya dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai realtif dapat diterima. Salah satu contoh yang mengguncang dan memicu kontroversi hebat di dunia barat adalah masalah homoseksualitas. Dunia barat, bahkan kalangan gereja Kristen, kini diguncang masalah dalam soal penentuan batas-batas moral perihal homoseks.  Perilaku ini selama berabad-abad dicap sebagai perilaku kotor dan maksiat. Tetapi di zaman ini justru mereka diakui dan dihormati sebagaimana manusia lainnya dengan alasan hak asasi manusia. Para pemimpin gereja yang berpikiran konservatif-ortodoks semakin terpojok dan kalah dengan para pemuka agama Kristen dan cendekiawannya yang sekuler-liberal mendukung praktik homoseks ini. Bahkan sebagian dari mereka adalah pelaku homoseks. Bahkan di tahun 2003 Gereja Anglikan di New Hampshire mengukuhkan Gene Robinson  seorang homosek sebagai Uskup, dengan gerakan yang semacam ini homosek mendapatkan legitimasi dari kalanagn agamawan.

Beberapa hal di atas merupakan problem serius yang perlu kita hadapi dengan strategi yang baik. Diskursus homoseksualitas ini mengalami evolusi yang begitu cepat. Yang sebetulnya paling banyak mempengaruhi adalah perubahan ilmu pengetahuan serta worldview itu sendiri. Jika epistemologinya sudah  sekuler, maka ilmu yang dihasilkan juga akan sekuler. Sifat ilmu itu sendiri tidak bebas nilai, termasuk ilmu psikologi tersebut. Kebenaran di barat sangat dipengaruhi oleh nilai yang berkembang di masyarakat pada saat itu. Sehingga ukuran normal dan abnormal juga menyesuaikan dengan nilai tersebut. Selain itu tekanan-tekanan dari kelompok homo ini juga turut memperngaruhi.

Pada akhirnya benteng terakhir untuk mengahadapi kaum homo tersebut adalah agama. Agama mana saja tidak ada yang menyepakati perbuatan laknat tersebut. Hal ini juga diamini oleh salah seorang penulis sejarah homo, Colin Spencer mencatat bahwa negara-negara Islam/mayoritas Muslim masih menjadi tempat yang tidak mengakomodasi hak seksual homoseks dan LGBT. Jelas saja umat Islam tidak akan mengakui keberadaan mereka karena bertentangan dengan sesuatu yang given. Selain itu perbuatan fasik ini akan mendatangkan bahaya yang tak terbayangkan. Para pegiat dan aktivis feminisme sebetulnya hanya pandai mempropagandakan isu ini. Tetapi setelah ada yang terjangkit virus HIV-AIDS mereka diam seribu bahasa, tak ada satupun yang meperdulikan nasib mereka. Adapun yang sudah terlanjur dan ingin bertaubat maka pintu selalu terbuka. Dan perlu diingat bahwa penyakit gangguan jiwa ini dapat disembuhkan dengan terapis.

Masalah homoseksual ini tidak akan selelsai jika kaum agamawan-cendekiawan hanya diam tanpa melakukan perlawanan. Oleh kerana itu semua elemen perlu bahu-membahu untuk menanggulangi hal ini. Sementara masayarakat  memperkuat bangunan keluarga. Membuang jauh-jauh ‘logika individu—asal tidak merugikan orang lain’. Karena secara nyata logika ini telah menjebak masyarakat barat dan masyarakat yang sekuler lainnya untuk menerapkan hukum berdasarkan pada hak individu, seperti kasus zina. Jika zina dihalalkan atau dilegalkan oleh pemerintah dan disepakati oleh masyarakat, lalu apa logikanya negara mau mengharamkan homoseksual.?. 

ditulis oleh: Agus Supatma
Angbid Kader PDPM
Masalah Penyimpangan Orientasi Sexual Yang Belum Terselesaikan Masalah Penyimpangan Orientasi Sexual Yang Belum Terselesaikan Reviewed by pdpm on Desember 24, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar

Post Ads

Klik Link ini Untuk mengikuti Polling II pemilihan 13 Formatur Musyda XVI : https://s.surveyplanet.com/_hThfiuv2