Peran ORMAS Dalam Pengentasan Kaum Mustadafin
Masa sudah berganti, perjuangan KH.Ahmad dahlan, Haji
Misbach dan Musso untuk melawan kesewenang wenangan harus disesuaikan dengan
konteks zaman. Pengentasan kaum mustadafin bukan hanya saja tanggung jawab
pemerintah, tetapi semua elemen harus mengambil peranan di dalamnya dengan niat
yang betul, pendekatan yang benar dan aksi yang tepat. Secara lebih seksama kita
dapat pula menelaah QS.2: 61; QS. 3:112; QS. 90: 11-20. Kita dapat mengkaji beberapa
hal yang disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai penyebab manusia mengalami
kemiskinan dan penindasan, yaitu: Pertama, sifat rakus sebagian
manusia (lan nashbira ‘ala tha’amin wahid); Kedua, eksploitasi
lingkungan atau sumber daya alam (mimma
tunbitu al-ardhu); Ketiga,
buta terhadap kebutuhan manusia yang sebenarnya (‘a tastabdilunal ladzi huwa adna billadzi huwa khair); Keempat, kufur nikmat (yakfuruna bi ayatillah); Kelima, mematikan “cita-cita
kenabian” (yaqtuluna al-nabiyyina); Keenam, kedurhakaan dan melampaui
batas (ashaau wa kanu ya’tadun); Ketujuh,
tidak menjalin hubungan
baik dengan Allah (hablum minallah); Kedelapan,
tidak menjalin hubungan
baik dengan sesama manusia (hablun
minannas).
Itulah kenapa Islam sangat mengecam umatnya yang
beriman tetapi tidak dapat melahirkan amal saleh. Iman tanpa amal saleh adalah
seperti pohon tanpa buah. Artinya keimanan dan keyakinannya terhadap Allah
tidak membawa pengaruh terhadap perbaikan dan kebaikan bagi manusia. Padahal
manusia bukan sekedar hamba, melainkan dia adalah wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ardh). Itu berarti tugas
menjaga dan memakmurkan dunia merupakan tugas utama manusia, termasuk tugas
untuk mensejahterakan setiap individu di dalamnya.
Fakta lain yang
menunjukkan keberpihakan Islam terhadap penanganan kemiskinan adalah adanya
sanksi berat berupa pelabelan atau cap sebagai pendusta agama terhadap mereka
yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin sebagaimana
termaktub dalam QS. al-Maun/107: 1-7. Komitmen Islam dapat pula dilihat dari
semangat dan langkah pembebasan manusia dari perbudakan klasik dan modern (fakku raqabah), termasuk keharusan untuk
selalu membantu kaum yatim dan miskin (ith’amun
fi yaumin dzi masyghabah, yatiman dza maqrabah, au miskinan dza matrabah). Islam tidak terjebak pada
kesalehan individual. Tetapi memposisikan kesalehan itu sebagai kesalehan
sosial. QS. 2:177 dapat menunjukkan hal itu. Di mana kebajikan sejati (al-birr) bukan dipahami secara simbolik,
melainkan kebajikan adalah 1) keimanan kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat,
Kitab Suci, dan Nabi-nabi. 2) memberi kerabat, kaum yatim, miskin,
musafir/pengungsi, dan para peminta. 3) membebaskan perbudakan. 4) mendirikan
shalat. 5) membayar zakat. 6) menepati janji, bila berjanji. 7) bersabar dalam
kesempitan, penderitaan maupun dalam masa perang atau konflik[1].
Keberpihakan
terhadap kaum mustadafin harus dengan cara yang benar dan tepat, keberpihakan
tidak harus selalu memberikan kebutuhan kebutuhan sehari hari kepada mereka,
tetapi juga harus memperhatikan aspek jangka panjang agar mereka menjadi kaum
yang lebih maju baik dalam pengetahuan, sosial maupun juga ekonominya. Pemihakan secara bahasa memiliki makna perbuatan memihak, memilih salah
satu, dan membela. Sedangkan pemberdayaan berarti proses, cara, dan perbuatan
memberdayakan. Dalam bahasa Inggris pemberdayaan
disebut empowerment. Artinya
yang punya kekuatan untuk memberdayakan, atau pemberian kemampuan untuk yang
lemah, supaya berdaya dengan cara menggali potensi-potensi yang ada pada mereka.
Jadi, pemberdayaan bisa diartikan upaya partisipatif dalam memberikan kemampuan
kepada orang yang lemah. Pemberian itu tidak terbatas hanya kemampuan ekonomi,
tetapi juga kemampuan lainnya yang bisa membuat orang lain berdaya seperti
dalam politik, sosial, budaya, agama dan lainnya[2].
Dalam bahasa agama, bisa
jadi memang problem perlunya pemberdayaan dan pemihakan terhadap kaum mustadh’afin harus diawali dari
pemahaman mengenai keyakinan ideologis (basis agama) dan pemahamannya, seperti
gagasan Islam Transformatif Moeslim
Abdurrahman yang melihat bahwa ada tiga problem yang
dialami orang-orang miskin dan tertindas (dhuafa’ dan mustadh’afin)
sehingga tersingkir dalam mobilitas sosial. Pertama,
kemiskinan agama sebagai rasionalisasi hidup. Agama yang sekarang menjadi mainstream tidak mampu menjadi
kekuatan spiritual dan moralitas yang membela kaum dhuafa’ dan mustadh’afin.
Sebab agama tidak menjadikan kaum mustadh’afin sebagai
subyek, tetapi hanya sebagai konsumen agama. Kedua, kemiskinan institusi agama, seperti majelis taklim. Tidak
ada circle seperti majelis
taklim yang menghimpun kaum mustadh’afin,
untuk membicarakan nasib dan problem sehari-hari yang mereka alami. Ketiga, kemiskinan di bidang kelembagaan
sosial ekonomi. Tidak ada upaya regrouping kaum dhuafa dan mustadh’afin di dalam komunitas
ekonomi, yang dengannya mereka bisa memiliki kekuatan ekonomi.
Dari ketiga problem diatas dapat kita simpulkan
bahwa pemberdayaan masyarakat dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek
menjadi suatu hal yang sangat penting dalam mengentaskan kaum mustadafin,
selain itu memanfaatkan media, bantuan hukum, Serta social network dalam
politik adalah strategi yang harus dikelola dengan baik agar pemberdayaan
masyarakat bisa berjalan dengan baik.
Dalam
hal ini, IMM sebagai wadah
condrodimuko kader yang bergerak pada gerakan keilmuwan dan gerakan sosial
dengan spirit kegamaan harus ikut
andil dalam pengentasan kaum mustadafin berbasis pemberdayaan tersebut. Sebagai gerakan gerakan mahasiswa islam IMM mempunyai peranan yang strategis baik dalam misi tersebut, , ilmu adalah
amal dan amal adalah ilmiah. Kader IMM tidak boleh terjebak dalam tataran wacana saja tetapi juga harus aplikasikan dalam bentuk
gerakan dakwah sosial kongkrit.
Peran ORMAS Dalam Pengentasan Kaum Mustadafin
Reviewed by pdpm
on
Desember 14, 2017
Rating:
Tidak ada komentar