Analisa 2030 Indonesia Bubar, Tak Terbantahkan Jika...
Oleh Edy Mulyadi
PIDATO Prabowo yang antara lain meramalkan Indonesia bakal bubar pada 2030 menjadi viral dan menuai komentar pro-kontra. Kalangan Istana dan para pendukungnya tentu saja menampik ramalan tersebut. Bahkan tidak sedikit dari kelompok ini yang cenderung nyinyir dalam menanggapi. Sebaliknya, mereka yang merasa khawatir atas perkembangan negeri tak urung ikut merasa ngeri. Jangan salah, mereka tidak melulu kelompok pro dan pendukung Prabowo. Saya adalah salah satu di antaranya.
Saya belum membaca novel Ghost Fleet karya PW Singer dan August Cole yang jadi referensi ramalan Prabowo. Tapi saya tahu, bahwa ramalan Prabowo bisa jadi kenyataan. Faktanya, memang sudah ada beberapa negara yang bubar, kok. Jumlahnya tidak kurang dari 10 negara yang bubar. Yang terbaru, Soviet dan negara-negara Balkan lainnya.
Kalau kita tarik mundur lagi, banyak kerajaan, kesultanan, kesunanan, dan kekhalifahan yang bubar. Jadi, kalau Indonesia pun akhirnya jadi bubar (semoga tidak), tentu bukan mustahil. Secara geografis, Indonesia tetap masih di titik koordinatnya. Secara pemerintahan, Presiden dan para pejabatnya masih para WNI. Tapi, semua itu hanya lambang. Kekuasaan sejati ada di tangan asing, yang memberi utang dalam jumlah superjumbo dan berbagai iming-iming kemudahan lainnya. Srilanka, Tibet, Zimbabwe, dan Angola adalah beberapa contoh negara yang kini tidak lagi berdaulat. Penyebabnya sama, mereka terjerat utang amat besar kepada Cina.
Umumnya utang itu digunakan untuk membangun proyek infrastruktur. Namun karena tidak mampu membayar, mereka akhirnya menyerahkan kepada Cina (http://www.portal-islam.id/2017/11/tengoklah-nasib-angola-zimbabwe-kini.html.). Utang menjulang Utang luar negeri yang menjulang, adalah pintu masuk tergadainya kemerdekaan sebuah bangsa. Pemerintah, terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) selalu menepis anggapan Indonesia darurat utang. Penjelasan yang senantiasa diulang-ulang, rasio utang Indonesia terhdap PDB masih di bawah 30%. Angka ini, jauh dari rasio yang diizinkan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60%. Sebetulnya capek mendengar bantahan Ani yang isinya mengulang-ulang belaka.
Soal rasio utang dan PDB, misalnya. Sudah banyak tulisan yang menyebut menjadikan PDB sebagai nisbah dengan utang jelas salah, keliru, sesat dan menyesatkan. Sri juga sering membandingkan utang Indonesia dengan jumlah utang negara-negara maju lain yang jauh lebih besar. Tidak tanggung-tanggung, dia menyebut Jepang, Amerika, dan sejumlah negara lain sebagai pembanding. Di sinilah kesalahan mendasar Menkeu idaman ‘pasar’ itu. Dia pikir orang Indonesia bodoh semua apa? Dia pikir, hanya dia saja yang ngerti ekonomi makro? Saya sebenarnya malas mengomentari bantahan yang bak nyanyian usang ini. Namun, membiarkan kesesatan yang menyesatkan melenggang, jelas sebuah kesalahan fatal.
Dalam membuat perbandingan, Sri selalu hanya menyodorkan nominal utang Jepang dan rasionya dengan PDB. Nominal utang Jepang memang jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Anak kuliah semester awal juga paham. Begitu juga dengan rasio utang Jepang terhadap PDB yang lebih dari 250%. Tertinggi di dunia. Hal serupa pun terjadi pada Amerika, yang per Januari 2018 juga utangnya mencapai US$19.947 miliar. Angka ini jauh melampuai PDB mereka.
Sepertinya Sri sengaja menyembunyikan fakta bahwa mayoritas surat utang Jepang dimiliki dalam negeri. Bank of Japan memegang hampir 50%. Selain itu, jangan lupa, bunga utang Jepang sangat murah, hanya berkisar 1%. Bandingkan dengan bunga obligasi yang diobral Sri hingga belasan persen, njomplang sekali bukan? Belum lagi kalau dikaitkan dengan NIIP (net international investment positions). Jepang menyandang status sebagai negara dengan NIIP positif. Artinya, Jepang memiliki net external Assets, bukan net external liabilities. Dengan kata lain, Jepang adalah adalah negara kreditor. Bukan itu saja, Jepang tercatat punya NIIP tertinggi di dunia. Angkanya mencapai US$2.813 triliun.
Bandingkan dengan Indonesia, yang minus US$413,106,000,000. Artinya, Indonesia termasuk negara debitur. Jepang dan AS memang punya utang jauh di atas PDB masing-masing. Namun utang keduanya masuk kategori aman. Pasalnya, rasio pajak mereka terhadap PDB masing-masing Jepang sekitar 36% dan AS 26%. Sedangkan Indonesia, angkanya dari dulu sulit bergeser dari 11-12%. Ini jadi yang terendah di antara negara anggota G20, bahkan di dunia. Sebaliknya, pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi di dunia dan cukup memberatkan perusahaan mau pun orang pribadi.
Banyak ekonom mengkritik perbandingan utang dan PDB karena dianggap bukan perbandingan yang logis. Rasio utang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya. Padahal ukuran sehat tidaknya utang terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya. Ada parameter yang lebih adil untuk digunakan mengukur utang, yaitu nisbah utang dan kemampuan ekspor alias DSR (debt to service ratio). OECD mendefinisikan DSR adalah perbandingan (persentase) dari total pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang yang dibayar suatu negara pada akhir tahun dibandingkan dengan total ekspor barang dan jasa negara. Sejak 2011 utang luar negeri Indonesia terus naik. Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai Januari 2018, jumlahnya US$357,5 miliar. Dengan kurs BI (Senin, 26/03/2018) yang Rp 13.776/US$, angkanya setara Rp 4.925 triliun, hampir Rp 5.000 triliun. Sebaliknya, ekspor justru terus melorot. Sampai akhir 2017, hanya US$145 miliar.
Maka tak heran kalau rasio utang luar negeri terhadap ekspor terus menanjak mencapai 176,19%. Padahal rasio yang normal ada 125%. Sementara itu, Thailand mencapai US$231 miliar, Malaysia US$ miliar, dan Vietnam US$160 miliar. Tidak peduli Tapi Sri dan para penganut neolib mana peduli? Mereka juga tidak peduli negara tersedot gila-gilaan untuk membayar utang. Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp 486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp 416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp 387 triliun.
Jumlah kewajiban kita terhadap utang pada 2018 ini makin mengerikan saja. Di APBN 2018 ada duit sebanyak Rp 399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah itu di luar Rp 247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp 646,8 triliun. Saya tidak yakin, Sri yang, konon, doktor ekonomi top tidak paham soal ini. Bagaimana mungkin seorang yang berkali-kali memperoleh penghargaan bergengsi kelas dunia tidak tahu, bahwa menisbahkan utang dengan PDB adalah permainan negara-negara kreditor untuk menjerat negara debitor dengan utang? Mohon maaf, hanya ada dua alasan dari sikap ndableg-nya dalam soal ini. Pertama, dia memang tidak paham (lho, katanya ekonom top?).
Dan, kedua, dia menjadi bagian dari para pembuka palang pintu benteng bangsa bagi masuknya kekuasaan asing. Dengan kondisi seperti ini, tidakkah ramalan Indonesia bakal bubar pada 2030 bisa menjadi kenyataan? Bubar atau tidak, yang pasti saat ini kedaulatan negara memang terasa jadi barang mewah. Tengok saja, bagaimana kontrak-kontrak utang yang dibuat untuk pembangunan infrastruktur kita. Sistem turn key project mengharuskan kita mengimpor bahan baku, bahan penolong, teknologi, perlengkapan, peralatan sampai tenaga kerja dari asing si pemberi utang.
Begitu lunglainya Indonesia, hingga tidak berdaya menerima banjir tenaga kerja asing dengan semua kategori, termasuk kelas kuli. Ironisnya, kuli-kuli asing itu dibayar sangat tinggi. Untuk seorang tukang asing dibayar Rp 15 juta/bulan. Sedangkan tenaga tukang yang sama dari dalam negeri harus puas dengan bayaran sesuai upah minimum regional yang sekitar Rp 3 jutaan. Seokarno puluhan tahun silam mengatakan, perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Para penjajah memang tidak mungkin masuk kecuali atas bantuan para pengkhianat. Jika ini terjadi, bubarlah Indonesia tercinta. Na’udzu billahi mindzalik.
* Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Ecbomic and democracy Studies (CEDeS)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Utang Superbesar Bikin Indonesia Bubar?,
PIDATO Prabowo yang antara lain meramalkan Indonesia bakal bubar pada 2030 menjadi viral dan menuai komentar pro-kontra. Kalangan Istana dan para pendukungnya tentu saja menampik ramalan tersebut. Bahkan tidak sedikit dari kelompok ini yang cenderung nyinyir dalam menanggapi. Sebaliknya, mereka yang merasa khawatir atas perkembangan negeri tak urung ikut merasa ngeri. Jangan salah, mereka tidak melulu kelompok pro dan pendukung Prabowo. Saya adalah salah satu di antaranya.
Saya belum membaca novel Ghost Fleet karya PW Singer dan August Cole yang jadi referensi ramalan Prabowo. Tapi saya tahu, bahwa ramalan Prabowo bisa jadi kenyataan. Faktanya, memang sudah ada beberapa negara yang bubar, kok. Jumlahnya tidak kurang dari 10 negara yang bubar. Yang terbaru, Soviet dan negara-negara Balkan lainnya.
Kalau kita tarik mundur lagi, banyak kerajaan, kesultanan, kesunanan, dan kekhalifahan yang bubar. Jadi, kalau Indonesia pun akhirnya jadi bubar (semoga tidak), tentu bukan mustahil. Secara geografis, Indonesia tetap masih di titik koordinatnya. Secara pemerintahan, Presiden dan para pejabatnya masih para WNI. Tapi, semua itu hanya lambang. Kekuasaan sejati ada di tangan asing, yang memberi utang dalam jumlah superjumbo dan berbagai iming-iming kemudahan lainnya. Srilanka, Tibet, Zimbabwe, dan Angola adalah beberapa contoh negara yang kini tidak lagi berdaulat. Penyebabnya sama, mereka terjerat utang amat besar kepada Cina.
Umumnya utang itu digunakan untuk membangun proyek infrastruktur. Namun karena tidak mampu membayar, mereka akhirnya menyerahkan kepada Cina (http://www.portal-islam.id/2017/11/tengoklah-nasib-angola-zimbabwe-kini.html.). Utang menjulang Utang luar negeri yang menjulang, adalah pintu masuk tergadainya kemerdekaan sebuah bangsa. Pemerintah, terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) selalu menepis anggapan Indonesia darurat utang. Penjelasan yang senantiasa diulang-ulang, rasio utang Indonesia terhdap PDB masih di bawah 30%. Angka ini, jauh dari rasio yang diizinkan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60%. Sebetulnya capek mendengar bantahan Ani yang isinya mengulang-ulang belaka.
Soal rasio utang dan PDB, misalnya. Sudah banyak tulisan yang menyebut menjadikan PDB sebagai nisbah dengan utang jelas salah, keliru, sesat dan menyesatkan. Sri juga sering membandingkan utang Indonesia dengan jumlah utang negara-negara maju lain yang jauh lebih besar. Tidak tanggung-tanggung, dia menyebut Jepang, Amerika, dan sejumlah negara lain sebagai pembanding. Di sinilah kesalahan mendasar Menkeu idaman ‘pasar’ itu. Dia pikir orang Indonesia bodoh semua apa? Dia pikir, hanya dia saja yang ngerti ekonomi makro? Saya sebenarnya malas mengomentari bantahan yang bak nyanyian usang ini. Namun, membiarkan kesesatan yang menyesatkan melenggang, jelas sebuah kesalahan fatal.
Dalam membuat perbandingan, Sri selalu hanya menyodorkan nominal utang Jepang dan rasionya dengan PDB. Nominal utang Jepang memang jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Anak kuliah semester awal juga paham. Begitu juga dengan rasio utang Jepang terhadap PDB yang lebih dari 250%. Tertinggi di dunia. Hal serupa pun terjadi pada Amerika, yang per Januari 2018 juga utangnya mencapai US$19.947 miliar. Angka ini jauh melampuai PDB mereka.
Sepertinya Sri sengaja menyembunyikan fakta bahwa mayoritas surat utang Jepang dimiliki dalam negeri. Bank of Japan memegang hampir 50%. Selain itu, jangan lupa, bunga utang Jepang sangat murah, hanya berkisar 1%. Bandingkan dengan bunga obligasi yang diobral Sri hingga belasan persen, njomplang sekali bukan? Belum lagi kalau dikaitkan dengan NIIP (net international investment positions). Jepang menyandang status sebagai negara dengan NIIP positif. Artinya, Jepang memiliki net external Assets, bukan net external liabilities. Dengan kata lain, Jepang adalah adalah negara kreditor. Bukan itu saja, Jepang tercatat punya NIIP tertinggi di dunia. Angkanya mencapai US$2.813 triliun.
Bandingkan dengan Indonesia, yang minus US$413,106,000,000. Artinya, Indonesia termasuk negara debitur. Jepang dan AS memang punya utang jauh di atas PDB masing-masing. Namun utang keduanya masuk kategori aman. Pasalnya, rasio pajak mereka terhadap PDB masing-masing Jepang sekitar 36% dan AS 26%. Sedangkan Indonesia, angkanya dari dulu sulit bergeser dari 11-12%. Ini jadi yang terendah di antara negara anggota G20, bahkan di dunia. Sebaliknya, pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi di dunia dan cukup memberatkan perusahaan mau pun orang pribadi.
Banyak ekonom mengkritik perbandingan utang dan PDB karena dianggap bukan perbandingan yang logis. Rasio utang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya. Padahal ukuran sehat tidaknya utang terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya. Ada parameter yang lebih adil untuk digunakan mengukur utang, yaitu nisbah utang dan kemampuan ekspor alias DSR (debt to service ratio). OECD mendefinisikan DSR adalah perbandingan (persentase) dari total pembayaran cicilan pokok utang dan bunga utang yang dibayar suatu negara pada akhir tahun dibandingkan dengan total ekspor barang dan jasa negara. Sejak 2011 utang luar negeri Indonesia terus naik. Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai Januari 2018, jumlahnya US$357,5 miliar. Dengan kurs BI (Senin, 26/03/2018) yang Rp 13.776/US$, angkanya setara Rp 4.925 triliun, hampir Rp 5.000 triliun. Sebaliknya, ekspor justru terus melorot. Sampai akhir 2017, hanya US$145 miliar.
Maka tak heran kalau rasio utang luar negeri terhadap ekspor terus menanjak mencapai 176,19%. Padahal rasio yang normal ada 125%. Sementara itu, Thailand mencapai US$231 miliar, Malaysia US$ miliar, dan Vietnam US$160 miliar. Tidak peduli Tapi Sri dan para penganut neolib mana peduli? Mereka juga tidak peduli negara tersedot gila-gilaan untuk membayar utang. Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp 486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp 416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp 387 triliun.
Jumlah kewajiban kita terhadap utang pada 2018 ini makin mengerikan saja. Di APBN 2018 ada duit sebanyak Rp 399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah itu di luar Rp 247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp 646,8 triliun. Saya tidak yakin, Sri yang, konon, doktor ekonomi top tidak paham soal ini. Bagaimana mungkin seorang yang berkali-kali memperoleh penghargaan bergengsi kelas dunia tidak tahu, bahwa menisbahkan utang dengan PDB adalah permainan negara-negara kreditor untuk menjerat negara debitor dengan utang? Mohon maaf, hanya ada dua alasan dari sikap ndableg-nya dalam soal ini. Pertama, dia memang tidak paham (lho, katanya ekonom top?).
Dan, kedua, dia menjadi bagian dari para pembuka palang pintu benteng bangsa bagi masuknya kekuasaan asing. Dengan kondisi seperti ini, tidakkah ramalan Indonesia bakal bubar pada 2030 bisa menjadi kenyataan? Bubar atau tidak, yang pasti saat ini kedaulatan negara memang terasa jadi barang mewah. Tengok saja, bagaimana kontrak-kontrak utang yang dibuat untuk pembangunan infrastruktur kita. Sistem turn key project mengharuskan kita mengimpor bahan baku, bahan penolong, teknologi, perlengkapan, peralatan sampai tenaga kerja dari asing si pemberi utang.
Begitu lunglainya Indonesia, hingga tidak berdaya menerima banjir tenaga kerja asing dengan semua kategori, termasuk kelas kuli. Ironisnya, kuli-kuli asing itu dibayar sangat tinggi. Untuk seorang tukang asing dibayar Rp 15 juta/bulan. Sedangkan tenaga tukang yang sama dari dalam negeri harus puas dengan bayaran sesuai upah minimum regional yang sekitar Rp 3 jutaan. Seokarno puluhan tahun silam mengatakan, perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Para penjajah memang tidak mungkin masuk kecuali atas bantuan para pengkhianat. Jika ini terjadi, bubarlah Indonesia tercinta. Na’udzu billahi mindzalik.
* Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Ecbomic and democracy Studies (CEDeS)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Utang Superbesar Bikin Indonesia Bubar?,
Analisa 2030 Indonesia Bubar, Tak Terbantahkan Jika...
Reviewed by pdpm
on
Maret 28, 2018
Rating:
Tidak ada komentar