Terkuburnya Nalar Kritis Dalam Mengikuti Prosedur Anti Corona
Menyikapi adanya reaksi terhadap wabah virus corona covid-19 yang beragam rasanya aneh jika dahi kita tidak berkerut meskipun sedikit. Kalo kita melihat reaksi yang berasal dari pemangku kekuasaan memang rata-rata sama yaitu reaktif, protektif, dan reaksi-reaksi yang senada, namun berbeda di level menengah dan level bawah di berbagai pelosok negeri. Sebagian sami’na wa atho’na atau sendiko dawuh terhadap apapun kebijakan yang diambil pemangku kekuasaan tanpa ada reaksi kontra sedikitpun karena yakin bahwa ini semua demi kebaikan bersama. Namun ada juga yang curiga dengan alasan-alasan tertentu yang menurut mereka kurang bisa diterima begitu saja. Bahkan ada juga yang tidak sejalan dengan kebijakan penguasa, tentu saja dengan alas an-alasan tertentu yang menurut mereka juga masuk di akal. Bahkan reaksi terhadap kebijakan yang diambil penguasa pun menuai reaksi yang beragam pula.
Dari berbagai reaksi tersebut, sebagai aktifis yang sudah terbiasa memiliki kekuatan nalar yang kritis tentu tidak bisa dengan begitu saja nge-blok kepada pihak tertentu baik yang sejalan dengan kebijakan penguasa maupun yang kontra. Harus kita hidupkan kekuatan analisa kita agar tidak dengan begitu saja mengambil keputusan tanpa ada pertimbangan-pertimbangan logis. Apalagi di kalangan aktifis yang tidak biasa taklid dengan keputusan atasan yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai sabdo pandito ratu, harus tidak risih dengan pendapat-pendapat kritis terkait masalah tersebut.
Sangat kontra dengan cap aktifis yang telah diberikan jika dengan mudah mencemooh, memandang dengan pandangan negatif terhadap pihak lain yang kritis terhadap kebijakan pemangku kekuasaan. Apalagi menganggap yang kritis sebagai golongan sok tahu, kurang wawasan, saklek, yang muslim tidak tahu dalil dan lain sebagainya yang justru secara tidak langsung menunjukkan adanya sifat jumawah dan sok tahu. Padahal jika kelak semua ini bisa kita lewati, kita semua akan tahu sebetulnya ada apa di balik semua ini, alamikah ? atau bisa saja yang di kawatirkan sebagian pihak bahwa ada sesuatu yang lain bisa juga terbukti. Terhadap yang demikian seharusnya kita hati-hati, tidak dengan begitu saja menyalahkan pihak lain yang silang pendapat.
Karena umat Islam sangat merasakan imbas dari kebijakan-kebijakan anti corona, maka dari kalangan muslim pun banyak muncul kontra.
Terkait dengan reaksi protektif yang merujuk pada dalil-dalil yang sudah jelas di dalam kitab hadist, boleh juga di kritisi. Karena yang mengetahui dalil itu bukan saja kita umat Islam. Bagaimana jika musuh-musuh Islam mengetahui betul bahwa umat Islam selalu mengikuti sunnah sehingga di buat huru-hara, dikondisikan agar umat Islam mengikuti apa yang mereka inginkan, disesuaikan dengan dalil-dalil yang mereka sudah mengetahuinya. Sehingga masjid-masjid yang sepi, subuh tanpa jamaah, tidak ada sholat jumat, tidak ada haji, tidak ada ceria Ramadhan, Idul Fithri yang sepi, yang selalu mereka impi-impikan bisa terwujud, tanpa menimbulkan gejolak yang signifikan di kalangan muslimin. Ini mungkin saja terjadi, kita tidak boleh mengatakan tidak mungkin karena kita bukan dzat yang mengetahui hal-hal ghaib.
Yang lebih mengerikan adalah ketika seorang muslim menjelek-jelekkan muslim lain yang memaksakan diri ke masjid misalnya. Memaksakan diri untuk mendirikan sholat jumat dan hal lain yang oleh pemangku kekuasaan di larang. Sesama muslim menjelek-jelekkan, hal yang betul-betul dilarang dalam agama yang mulia ini.
Mungkin bagi sebagian pihak mengatakan bahwa ini semua dilakukan karena adanya urgensi yang tidak bisa lagi di maklumi. Namun apakah tidak diizinkan jika kita curiga karena adanya blowup pihak media tertentu yang rasanya terlalu berlebih-lebihan bahkan banyak sekali informasi palsu yang seolah-olah memaksakan opini publik bahwa korban wabah ini ada dimana-mana dan jumlahnya banyak, padahal setelah di lakukan cross check ternyata tidak sesuai. Belum lagi munculnya kebijakan-kebijakan yang seolah-olah memanfaatkan kondisi ini demi kepentingan tertentu yang bersifat merugikan Negara.
Bagaimana dengan larangan suudlon dalam agama ?
Jawabannya bagaimana jika musuh-musuh Islam juga tahu akan larangan tersebut ? Sehingga dimanfaatkan demi tercapainya keinginan mereka.
Nalar-nalar kritis tersebut diatas lumrah muncul di berbagai kalangan, tidak boleh kita memberikan stigma negatif terhadap mereka asalkan bukan untuk kepentingan yang nyata-nyata merugikan public. Sehingga tidak ada tulisan-tulisan yang isinya saling mengejek antara satu dengan yang lain, apalagi sesama muslim. Adanya saling menghargai pendapat yang bisa melahirkan aksi kehati-hatian yang dibangun bersama-sama agar kita tidak hanya menjadi 'obyek percobaan' bagi pihak lain yang merasa lebih cerdas dan memiliki kekuasaan lebih besar. Wallohua’lam bishowab.
Opini by : Muhammad Ai
Edited by : Tim redaksi
Dari berbagai reaksi tersebut, sebagai aktifis yang sudah terbiasa memiliki kekuatan nalar yang kritis tentu tidak bisa dengan begitu saja nge-blok kepada pihak tertentu baik yang sejalan dengan kebijakan penguasa maupun yang kontra. Harus kita hidupkan kekuatan analisa kita agar tidak dengan begitu saja mengambil keputusan tanpa ada pertimbangan-pertimbangan logis. Apalagi di kalangan aktifis yang tidak biasa taklid dengan keputusan atasan yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai sabdo pandito ratu, harus tidak risih dengan pendapat-pendapat kritis terkait masalah tersebut.
Sangat kontra dengan cap aktifis yang telah diberikan jika dengan mudah mencemooh, memandang dengan pandangan negatif terhadap pihak lain yang kritis terhadap kebijakan pemangku kekuasaan. Apalagi menganggap yang kritis sebagai golongan sok tahu, kurang wawasan, saklek, yang muslim tidak tahu dalil dan lain sebagainya yang justru secara tidak langsung menunjukkan adanya sifat jumawah dan sok tahu. Padahal jika kelak semua ini bisa kita lewati, kita semua akan tahu sebetulnya ada apa di balik semua ini, alamikah ? atau bisa saja yang di kawatirkan sebagian pihak bahwa ada sesuatu yang lain bisa juga terbukti. Terhadap yang demikian seharusnya kita hati-hati, tidak dengan begitu saja menyalahkan pihak lain yang silang pendapat.
Karena umat Islam sangat merasakan imbas dari kebijakan-kebijakan anti corona, maka dari kalangan muslim pun banyak muncul kontra.
Terkait dengan reaksi protektif yang merujuk pada dalil-dalil yang sudah jelas di dalam kitab hadist, boleh juga di kritisi. Karena yang mengetahui dalil itu bukan saja kita umat Islam. Bagaimana jika musuh-musuh Islam mengetahui betul bahwa umat Islam selalu mengikuti sunnah sehingga di buat huru-hara, dikondisikan agar umat Islam mengikuti apa yang mereka inginkan, disesuaikan dengan dalil-dalil yang mereka sudah mengetahuinya. Sehingga masjid-masjid yang sepi, subuh tanpa jamaah, tidak ada sholat jumat, tidak ada haji, tidak ada ceria Ramadhan, Idul Fithri yang sepi, yang selalu mereka impi-impikan bisa terwujud, tanpa menimbulkan gejolak yang signifikan di kalangan muslimin. Ini mungkin saja terjadi, kita tidak boleh mengatakan tidak mungkin karena kita bukan dzat yang mengetahui hal-hal ghaib.
Yang lebih mengerikan adalah ketika seorang muslim menjelek-jelekkan muslim lain yang memaksakan diri ke masjid misalnya. Memaksakan diri untuk mendirikan sholat jumat dan hal lain yang oleh pemangku kekuasaan di larang. Sesama muslim menjelek-jelekkan, hal yang betul-betul dilarang dalam agama yang mulia ini.
Mungkin bagi sebagian pihak mengatakan bahwa ini semua dilakukan karena adanya urgensi yang tidak bisa lagi di maklumi. Namun apakah tidak diizinkan jika kita curiga karena adanya blowup pihak media tertentu yang rasanya terlalu berlebih-lebihan bahkan banyak sekali informasi palsu yang seolah-olah memaksakan opini publik bahwa korban wabah ini ada dimana-mana dan jumlahnya banyak, padahal setelah di lakukan cross check ternyata tidak sesuai. Belum lagi munculnya kebijakan-kebijakan yang seolah-olah memanfaatkan kondisi ini demi kepentingan tertentu yang bersifat merugikan Negara.
Bagaimana dengan larangan suudlon dalam agama ?
Jawabannya bagaimana jika musuh-musuh Islam juga tahu akan larangan tersebut ? Sehingga dimanfaatkan demi tercapainya keinginan mereka.
Nalar-nalar kritis tersebut diatas lumrah muncul di berbagai kalangan, tidak boleh kita memberikan stigma negatif terhadap mereka asalkan bukan untuk kepentingan yang nyata-nyata merugikan public. Sehingga tidak ada tulisan-tulisan yang isinya saling mengejek antara satu dengan yang lain, apalagi sesama muslim. Adanya saling menghargai pendapat yang bisa melahirkan aksi kehati-hatian yang dibangun bersama-sama agar kita tidak hanya menjadi 'obyek percobaan' bagi pihak lain yang merasa lebih cerdas dan memiliki kekuasaan lebih besar. Wallohua’lam bishowab.
Opini by : Muhammad Ai
Edited by : Tim redaksi
Terkuburnya Nalar Kritis Dalam Mengikuti Prosedur Anti Corona
Reviewed by pdpm
on
April 30, 2020
Rating:
Tidak ada komentar