Menuju Tirani Minoritas, Suparno M Jamin
Tiga tahun terakhir ini umat islam diberondong aneka ragam stigmatisasi yang semakin memojokkan posisi umat islam. Mulai dari stigmatisasi anti Pancasila, anti NKRI, anti kebhinekaan, anti toleransi, atau terkait jaringan ISIS dan atau TERORIS. Tentu pemberian aneka label atau stigmatisasi tersebut bukan sekedar kebetulan, melainkan sudah didisain secara matang dan sitematis.
Untuk apa semua itu mereka dilakukan, tentu untuk mengamankan agenda besar mereka yang tersembunyi, agar nantinya semua agenda mereka berjalan mulus tanpa hambatan. Kalau perlu dipercepat mumpung kekuasaan ada ditangan mereka.
Adanya agenda yang tersembunyi ini ditengarahi oleh maraknya pembubaran pengajian yang dilakukan oleh sekelompok orang atau ormas, pencekalan ulama, adu domba antar elemen atau ormas, kriminalisasi atas penyampaian data dan fakta, penangkapan ulama dan aktivis yang bersikap kritis dst. Walapun apa yang telah dilakukan oleh para aktivis tersebut semata-mata demi NKRI dan untuk menuntut keadilan untuk semua. Keadilan sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara.
Realitas sosial yang semakin timpang, diskriminatif, penuh ketidak keadilan tersebut digugat oleh Faizal Azzegaf, Ketua Progres 98, dalam tulisannya yang berjudul " SETIAP JELANG NATAL, UMAT ISLAM DIBUAT TERPOJOK " ( https//fajar.co.id/2017/12/23/setiap jelang natal umat islam dibuat terpojok/ ). Kemudian tulisan tersebut, ditutup dengan kesimpulan yang dituangkan dalam sebuah alinea terakhir, yang selengkapnya adalah sbb : " Hasilnya, kehidupan umat beragama tanpa henti diposisikan saling curiga demi kepentingan kejahatan besar : skandal BLBI, Proyek Reklamasi, penyelundupan Narkoba, dan mewabahnya penyakit LGBT. Pelakunya jelas mereka, tetapi kenapa setiap jelang natal umat islam dibuat terpojok "
Keadaan tersebut diperparah lagi oleh sikap penguasa yang sering menyakiti umat islam. Mulai dari beberapa kebijakan yang telah diambil maupun statemen yang dikeluarkan oleh para pejabatnya. Sehingga tidak berlebihan kalau umat islam merasa dipojokkan. Menjelang natal dan tahun baru , ada Pejabat Negara yang mengeluarkan statemen, yang intinya telah mendramatisir keadaan, seolah-olah negara dalam bahaya. Untuk itu, pada hari natal dan tahun baru akan mengerahkan 80.000. prajurit TNI. Jumlah itu belum termasuk ratusan ribu dari anggota POLRI. Statemen tersebut telah memberi kesan seakan-akan kelompok minoritas dalam posisi tidak aman, atau di bawah acaman mayoritas. Pada hal fakta historis maupun di lapangan, yang ada di seluruh belahan dunia manapun, kalau umat islam merupakan bagian mayoritas, kelompok mimoritas pasti aman dan bisa berkarier seperti umat mayoritas. Kelompok minoritas di negeri mayoritas muslim, bisa jadi jendral, menteri maupun gubernur, termasuk di Indonesia. Sementara kalau yang minoritas islam, jangan berharap muslim bisa jadi jenderal dan gubernur. Kalau toh ada itu sangat langka. Bahkan tidak jarang teraniaya, sebagaimana yang menimpa umat islam di Rohingya akhir-akhir ini.
Realitas sosial telah membuktikan bahwa konsep toleransi dalam islam sangat indah dan sempurna. Bahkan tidak berkelebihan kalau konsep toleransi dalam islam, merupakan toleransi yang paling jujur dan tulus, yang ada dimuka bumi.
Hal ini diperkuat lagi dengan realitas politik di negara-negara yang penduduknya mayoritas non muslim, seperti Inggris, Perancis, Cina, Sovyet, maupun di negara yang telah mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi, seperti AS, apa ada umat islam yang jadi menteri dan jendral. Kenapa umat islam terus dicurigai dan dipojokkan.
Sehingga sangat ahistoris dan berlebihan kalau umat islam selalu dipojokan serta distigmatisasi dengan berbagai label seperti anti toleransi, anti kebinekaan dan anti-anti yang lain.
Sungguh, kalau mereka, kaum minoritas, mau jujur dengan sejarah bangsa ini, maka tidak ada yang pantas untuk dicurigai. Karena berdasarkan fakta historis maupun sosiologis, umat islam selaku pemegang saham terbesar untuk berdirinya negara ini, sangat berlapang dada dalam menyikapi segala kebhinekaan . Realitas sosiologis semacam ini tentu tidak bisa dipungkiri. Memori sejarah pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi dokumen yang tak terbantahkan, bahwa umat Islam merupakan mesin dan lokomotif perjuangan kemerdekaan negara Repblik Indonesia.
Kemudian ketika negara dalam keadaan kritis atau gawat, umat Islam merupakan benteng pertama dan terakhir dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Jendral Gatot Nurmantio, ketika masih menjabat sebagai Panglima TNI. Ingat peristiwa 10 Nopember 1945, dikota Surabaya. Sebuah peristiwa yang sangat monumental dan heroik. Dengan teriakan takbir yang sambung menyambung arek-arek Surabaya serentak bangkit untuk mengusir tentara sekutu yang di belakangnya ada sontoloyo Belanda.
Tanpa diduga-duga sebelumnya, ternyata kehadiran tentara sekutu tersebut disambut dengan gemuruh perlawanan dari arek-arek Surabaya yang penuh heroik, dengan semboyan hidup terjajah atau mati terhormat. Dengan semangat heroisme yang membara, para ulama, kyai, pejuang, pemuda, santri, pelajar , semua serentak berjuang fisabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menyaksikan semangat heroisme yang luar biasa dari para pejuang kemerdekaan tersebut, tentara sekutu kocar-kacir, yang mengakibatkan gugurnya seorang perwira tinggi Inggris. Akhirnya tentara sekutu takluk dan bertekuk lutut. Itu semua " merupakah salah satu lagi bukti historis", sekali lagi merupakan " salah satu bukti historis", bahwa umat Islam adalah pemilik saham mayoritas dan sebagai benteng terakhir dalam mempertahankan Negara Republik Indonsia yang sekarang populer dengan NKRI.
Kini sejarah mulai diputar balikan secara sistematis, umat islam mulai dipojok-pojokan. Umat Islam mulai distigmatisasi dengan berbagai ungkapan yang menyakitkan, yang semuanya itu merupakan salah satu bentuk pengkhianatan sejarah. Yang tidak lain adalah upaya sistematis untuk menyingkirkan peran politik umat islam pasca reformasi yang telah sukses mereka belokkan.
Padahal PANCASILA, UUD 1945, NKRI dan KEBHINEKAAN, pada hakikatnya merupakan hasil dari serangkaian perjuangan panjang, dari seluruh komponen bangsa Indonesia. Dan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa NKRI lahir dari rahimnya umat islam, selaku pemegang saham mayoritas. Bahkan rumusan PANCASILA yang sekarang, adalah merupakan salah satu bukti lagi dari sikap toleransi umat islam yang paling indah dan sempurna. Oleh karenanya, ada menteri pada masa orde baru yang mengatakan bahwa PANCASILA yang berlaku sekarang ini disebut sebagai salah satu bentuk pengorbanan umat islam yang diberikan kepada negara dan bangsa ini. Sekaligus hadiah dari umat Islam untuk kelompok minoritas, sebagai wujud nyata dari sikap toleransi umat islam. Sebagai hadiah , seharusnya diapresiasi secara seimbang, jujur dan tulus, demi Indonesia yang bermartabat.
Tanpa adanya toleransi yang indah dan tulus dari umat islam, mungkin tidak akan lahir rumusan Pancasila dan NKRI seperti sekarang ini. Toleransi semacam ini hanya bisa dibangun berdasarkan keyakinan yang benar, yang bagi umat islam bersumber dari kitab suci al-Qur'an.
Jikalau umat Islam pada saat itu tetap bersikukuh pada kesepakatan PIAGAM JAKARTA, tidak akan ada rumusan PANCASILA seperti sekarang ini. PIAGAM JAKARTA telah disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) melalui panitia sembilan, yang ketika itu kelompok non muslim diwakili oleh Mr. Maramis. Namun sehari setelah proklamasi, kesepakatan tersebut diutak-atik lagi oleh kalangan non muslim dari Indonesia bagian timur.
Kemudian umat islam setelah mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara yang baru berdiri, maka dengan lapang dada kalangan umat islam menerima perubahan rumusan sila pertama PANCASILA, dari KETUHANAN DENGAN KEWAJIBAN MENJALANKAN SYARIAT ISLAM BAGI PARA PEMELUKNYA, menjadi KETUHANAN YANG MAHA ESA. Apakah ini bukan merupakan sebuah sikap toleransi yang paling indah dan langka. Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD disahkan, yang didalamnya ada rumusan PANCASILA yang dituangkan dalam Pembukaan UUD alinea IV. Sekarang UUD tersebut populer dengan sebutan UUD 1945. Fakta historis ini juga merupakan bukti otentik sikap toleransi umat islam yang indah dan sempurna yang dihadiahkan kepada negara dan bangsa Indonesia, khususnya kepada kelompok non muslim. Demikian pula ketika Konstituante hasil pemilu pertama tahun 1955, gagal membentuk UUD menggantikan UUD 1945, maka melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 Konstituante dibubarkan dan kembali ke UUD 1945, yang dalam konsideran dekrit tersebut ditegaskan bahwa PIAGAM JAKARTA menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut, sebenarnya umat islam memiliki landasan yuridis konstitusional untuk menjalankan syariat islam, namun umat tetap menjaga toleransi dan kedamaian demi negara dan bangsa ini.
Dari serangkaian fakta-fakta historis yang sempat kami kemukakan di atas, maka menjadi kewajiban segenap para penyelenggara negara untuk menjalankan UUD 1945 secara murni, jujur, tulus dan konsisten sesuai dengan semangat dekrit Presiden Soekarno yang merupakan dasar hukum berlakunya kembali UUD 1945. Tanpa ada yang harus dicurigai, tanpa ada yang distigmatisasi, tanpa ada yang selalu dipojokkan.
Kalau masih ada kelompok yang nyinyir terhadap suara umat Islam yang kritis menyikapi ketidak-adilan, diskriminasi, dan kesenjangan, berarti mereka telah gagal paham. Mereka tak pandai bersyukur, ahistoris, yang ingin membangun tirani minoritas, yang ending akan menggiring negara menuju kehancuran.
Tanda-tanda kearah itu mulai nampak dengan terang benderang. Terbukti setiap umat Islam mulai bersikap kritis selalu dipojokan, dilabeli dengan berbagai label, serta tidak jarang mereka dicekal, ditangkapi, ditahan, dengan tuduhan terlibat jaringan ISIS, islam fondamentalis, radikal, teroris dan makar. Bahkan sampai pengajianpun dibubarkan. Intinya terus menerus dicurigai dan dipojokkan. Pada hal tidak ada bukti sejarah umat islam berontak dan berkhianat. Semua perjuanganannya berdasarkan etika politik dan konstitusi yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.
Kini umat islam sudah ndepipil dipojokanpun masih berusaha untuk dipojokkan lagi sampai benar-benar tidak nampak lagi dipojokan.Dengan kalimat lain, yang dipojokan tersebut harus sudah nggak ada lagi, yang ada hanya mereka. Itu sangat berbahaya bagi eksistensi negara dan bangsa.
Etnis dan kelompok minoritas yang suka memberi stigma negatif terhadap umat islam tersebut, sesungguhnya merupakan etnis yang paling banyak menikmati bahkan memonopoli kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah. Mereka dengan segala cara berusaha tetap menghegemoni kekayaan Indonesia melalui permainan hukum yang kotor, menyuap, serta melakukan monopoli yang sangat ekstrem.
Mayoritas umat islam hanya sebagai penonton, kuli kenceng atau kuli kendo atau sekedar sebagai pelengkap penderita dalam realitas kehidupan sosial. Coba perhatikan satu persatu, siapa para perampok uang negara ratusan trilyun rupiah melalui bantuan likwiditas Bank Indonesia, yang terkenal dengan sebutan skandal BLBI. Siapa pemilik bank yang digunakan untuk merampok dana BLBI, mulai dari BANK BCA, BDNI, DANAMON, BHS, dst. Kemudian siapa dibalik berbagai kasus, mulai dari kasus pulau REKLAMASI, RS SUMBER WARAS, HPH, TAMBANG, PABRIK dan BANDAR BESAR NARKOBA. Siapa T.Winata yang oleh sebagian kalangan disebus PRESIDEN PERJUDIAN REPUBLIK INDONESIA, dan siapa wanita yang bernama Ayin yang membangun SINGGASANA di Lembaga Pemayarakatan, sekaligus yang berperan sebagai penyuap Jaksa Urip T. Ternyata semuanya dari kelompok minoritas yang ingin menghegemoni kekuasaan ekonomi dan politik di Indonesia ( tirani minoritas).
Mereka seakan punya hak previlage atau hak istimewa, hak imunitas atau hak kekebalan layaknya seorang anggota parlemen, bahkan lebih dari itu. Misalnya kasus yang paling kasat mata dan sangat memalukan dunia penegakkan hukum, yaitu kasus A HOK, meskipun telah berstatus NAPI, tetapi tidak dimasukkan dalam PENJARA, seperti napi-napi yang lain. Apa ada nara pidana lain, yang diperlakukan seperti itu, kenapa semua diam, kenapa para pejuang keadilan diam, akademisi diam, mahasiswa diam, NGO diam, dan kenapa pula DPR atau wakil rakyat diam. Sungguh menyedihkan dan memalukan.
Sudah mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu, masih mau mengangkangi konstitusi. Mereka seakan tak pernah berdosa kepada NKRI, mereka merasa paling PANCASILA, mereka teriak-teriak terus di berbagai media yang nyaris telah mereka kuasai semua, sambil telunjuk jarinya diarahkan kepada umat islam, yang hanya sekedar bersuara kritis untuk menggugat ketidak-adilan. Umat islam mereka labeli dengan berbagai stigma negatif seenaknya sendiri. Dengan label-label anti NKRI dan KEBHINEKAAN, ANTI PANCASILA, terlibat jaringan ISIS, teroris, dan lain-lain. Pada hal merekalah yang telah mengkhianati NKRI. Kalau mereka tidak mau dikatakan mengkhianati NKRI, kembalikan dana BLBI yang telah dirampok beramai-ramai beberapa tahun yang lalu, dan berhentilah menyuap serta mencekoki bangsa Indonesia dengan NARKOBA. Karena semua itu akan membahayakan eksistensi NKRI yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Sekarang coba kita renungkan barang sejenak saja, bilamana para penguasa dan penegak hukum mau berpikir jernih, maka dari kasus BLBI saja sudah bisa mengentaskan atau memberdayakan jutaan keluarga miskin, bisa membangun ribuan rumah sakit dan sekolah. Bisa menyediakan puluhan juta lapangan kerja.
Bandingkan dengan kasus korupsi yang lain, mulai dari kasus E-KTP sampai dengan berbagai kasus OTT KPK selama ini. Ternyata kasus E-'KTP dan lain OTT KPK tersebut nilai kerugiannya tidak ada 1% dari kejahatan perampokan uang negara yang mereka lakukan. Namun beritanya menggetarkan jagad medsos, menenggelamkan kasus-kasus besar yang mereka lakukan. Inilah yang namanya PENGALIHAN ISU, untuk menutupi kejahatan dan kemungkaran yang jauh lebih besar.
Untuk itu KPK, demi keadilan, harus segera menggulung para koruptor besar tersebut, serta berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan kerugian negara yang jumlahnya ratusan trilyun tersebut. Seluruh rakyat Indonesia akan mendukungnya.
KPK, Kepolisian dan Kejaksaan, tidak boleh larut oleh permainan mereka, semua harus digiring ke pondok SUKAMISKIN, tentunya setelah kerugian negara dikembalikan kepada negara.
Ingat, rakyat Indonesia tetap dengan setia menunggu, kapan kasus BLBI, PULAU REKLAMASI disidik dan dibongkar tuntas demi kehormatan NKRI, dan selanjutnya bersama-sama digiring ke LP atau dihukum mati.
Kemudian kasus lain yang sangat membahayakan eksistensi negara dan bangsa Indonesia adalah kasus NARKOBA, karena dengan narkoba jutaan rakyat Indonesia telah terbunuh secara sia-sia. Sungguh para produsen dan bandar besar narkoba adalah para pembunuh paling masif dan mengerikan.
Mereka tidak mengenal PANCASILA dan NKRI. Mereka membawa misi perang candu untuk menaklukan Indonedia tanpa melalui peperangan. Setidak-tidaknya narkoba adalah tahap awal dari perang yang sesungguhnya. Karena sejatinya produsen, bandar dan atau pemasok narkoba terbesar di Indonesia sebagian besar pelakunya adalah dari negara Cina atau etnis cina. Kalau begitu, berarti mereka itu adalah TERORIS yang 24 karat atau mereka adalah TERORIS terbesar yang ada dimuka bumi ini, karena dengan narkoba telah merenggut jutaan nyawa manusia, dari segala profesi, kasta, umur, kelamin dan seterusnya.
Selanjutnya timbul pertanyaan, sudah adilkah republik ini ketika hukum berhadapan dengan mereka, ketika hukum berhadapan dengan para perampok BLBI, ketika hukum berhadapan dengan PRODUSEN & BANDAR NARKOBA, serta mereka yang ada di balik Pulau Reklamasi, Rumah Sakit Sumber Waras, yang pada hakikatnya mereka semua adalah para Pengkhianat Bangsa. Tentunya termasuk LGBT yang telah dipastikan akan mengundang murka Allah.
Kalau kasus-kasus tersebut tidak segera diselesaikan , maka tidak salah kalau rakyat menafsirkan bahwa semua itu merupakan bagian dari desain menuju TIRANI MINORITAS.
SUPARNO M JAMIN : Koordinator Institute Transparansi Birokrasi dan Peradilan ( ITB-Per ).
Menuju Tirani Minoritas, Suparno M Jamin
Reviewed by pdpm
on
Mei 09, 2018
Rating:
Tidak ada komentar